Guru Sebagai Pembimbing
Memupuk Kesadaran Tentang
Peran Guru Sebagai Pembimbing Generasi Penerus
Kebanyakan guru sangat sadar
akan perannya sebagai pengajar suatu mata pelajaran, tetapi kurang sadar akan perannya
sebagai pendidik yang harus membimbing murid-muridnya mempersiapkan diri
menjadi penerus perjalanan bangsa.
”Saya guru matematika!” “Saya
guru bahasa Inggris!” “Saya guru sejarah!” Ucapan-ucapan seperti inilah yang
selalu kita dengar dari guru-guru kita. Jarang sekali kita dengar seorang guru
mengatakan, bahwa dia adalah guru pembimbing para siswa.
Dalam setiap kegiatan
pembelajaran terdapat tiga kegiatan yang salug berbeda, tetapi saling
berhubungan. Ketiga kegiatan ini ialah
·
teaching, yang mengantarkan murid kepada pemahaman pengetahuan
(knowledge);
·
training yang membimbing murid kepada penguasaan
keterampilan,; dan
·
educating yang membawa murid kepada pengenalan,
pemahaman, dan penghayatan nilai-nilai.
Secara populer sering juga
dikatakan, bahwa ketiga tindakan ini bertujuan mengantarkan murid kepada
pengetahuan, ketrampilan , dan kearifan (wisdom)
. Ketiga hal ini merupakan tujuan akhir dari setiap tindakan pendidikan, tujuan
dari setiap educatinal act.
Dalam kenyataan kita
lihat,bahwa pendidikan di sekolah sangat menekankan penguasaan pengetahuan,
kurang memperhatikan pemupukan ketrampilan, dan sangat mengabaikan pembinaan
kearifan. Ini merupakan tradisi pendidikan sekolah yang sangat dipengaruhi oleh
pikiran-pikiran Sir Francis Bacon sejak Abad XVII. Praktek pendidikan ini lalu
malahirkan semboyan Knowlledge is Power.
Mungkin tradisi inilah yang menyebabkan, bahwa kaum
guru lalu menjadi sangat sadar akan peranannya sebagai penerus dan penyebar
pengatahuan (kennisoverdrager), dan kurang
menyadari, bahwa di samping itu guru juga harus membina kearifan murid melalui
pendidikan nilai-nilai dan pemahaman apa yang mereka ketahui. Pada dasarnya
dewasa ini terlampau banyak hal yang kita ketahui tanpa kita ketahui maknanya.
Maka lahirlah “pengetahuan hampa makna” (meaningless
knowledge). Nilai-nilai yang kita pelajari pun banyak yang kita kenal tanpa
kita ketahui maknanya. Nilai-nilai semacam ini menjadi “nilai hampa makna” (meaningless values). Gabungan antara
pengetahuan hampa makna dengan nilai hampa makna inilah yang lalu banyak
melahirkan perlilaku-perilaku yang bersifat “serba semu”, penuh dengan
kepura-puraan dan kepalsuan.
Praktek pendidikan sekolah
seperti ini tidak akan dapat melahirkan commitment murid-murid kepada masa depan bangsa. Tidak
akan dapat melahirkan pada diri murid tekad untuk mengabdikan hidup mereka
kepada kesejahteraan bangsa di masa yang akan datang.
Kelangsungan eksistensi
bangsa merupakan suatu keharusan. Betapapun banyaknya kesalahan yang kita lakukan
selama ini, betapapun menyedihkannya keadaan kita sekarang ini, kita tidak
punya pilihan lain, kecuali bersaha sekuat tenaga melanjutkan kehidupan bangsa
dengan jalan memperbaiki segenap perilaku kita. Bangsa yang tidak mampu
membentuk tekad seperti ini dalam keadaan krisis akan menghadapi kepunahan.
Tugas untuk melanjutkan
eksistensi bangsa ini terutama terletak di pundak generasi muda. Besar-kecilnya
kemampuan suatu generasi muda untuk menjaga kelangggengan eksistensi bangsa sangat
bergantung terutama kepada pendidikan yang mereka terima di sekolah. Kalau pendidikan
yang mereka terima di seklolah bersifat relevant dan bermutu, maka tugas
melanjutkan eksistensi bangsa itu akan terasa relatif ringan,
Tetapi kalau pendidikan yang
diberikan kepada generasi muda itu bersifat tidak relevant, maka tugas melanjutkan
apa yang telah dilakukan oleh genersi sebelumnya akan terasa sangat berat.
Kegagalan dalam mengambil alih tugas mengelola masyarakat dan negara dari
generasi tua akan menghasilkan apa yang sekarang disebut sebagai tailed state. Dan sekarang ini oleh PBB
kita sudah dikategorikan menjadi failed
state yang ke 57 di dunia ini.
Kapankah akan lahir generasi
yang dapat mengangkat bangsa dari situasi failed
state ini? Pertanyaan ini tidak akan dapat kita jawab dengan baik pada saat
ini. Kita hanya dapat berjanji untuk mereformasi pendidikan sesuai dengan
persoalan yang dihadapi bangsa.
Apa esensi dari kemampuan membimbing
generasi muda?
Menurut pendapat saya pada dasarnya inti dari
kemampuan ini ialah kemampuan mendapatkan kepercayaan dari para murid, bahwa
guru perduli terhadap masa depan mereka; bahwa guru sungguh-sungguh mempunyai
perhatian mengenai masa depan para murid. Pengertian ini mengandung pengertian,
bahwa guru mengetahui cara para murid memahami keadaan yang ada pada waktu sekarang
ini.
Pemahaman seperti ini tidak
mungkin tumbuh kalau guru hanya berkomunikasi dengan para murid melalui materi
yang terdapat dalam mata pelajaran yang diampunya saja. Hubungan guru-murid
yang diwarnai empati hanya akan terbentuk apabila guru bersedia menghadapi
murid-muridnya tanpa dibebani oleh posisi resminya sebagai guru.
Dalam hubungan yang seperti
ini baru akan mungkin bagi murid untuk mencurahkan segenap pikiran serta
perasaan mereka mengenai segenap harapan dan kekhawatiran yang mereka rasakan
dalam menghadapi masa depan mereka.
Hanyalah setelah hubungan
yang bersifat pribadi antara guru dengan murid-muridnya ini menjadi cukup akrab
baru akan mungkin bagi guru untuk mengemukakan pendangan-pandangannya mengenai
langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh para murid untuk menyongsong masa
depan mereka bersama dan masa depan mereka masing-masing.
Perlu saya tekankan di sini,
bahwa tugas membimbing para murid seperti ini dapat dilakukan oleh setiap guru,
apapun mata pelajaran yang diampunya. Tentu saja guru mata pelajaran yang satu
mempunyi peluang yang lebih besar untuk menjadi pembimbing para siswa menuju ke
kemandirian mereka daripada guru mata pelajaran yang lain. Guru sejarah
mempunyai peluang yang lebih besar daripada guru matematika untuk menjadi
pembimbing siswa seperti yang saya uraikan ini secara wajar.
Tetapi faktor yang sangat
penting dalam soal bimbingan siswa seperti ini ialah wibawa, yaitu rasa hormat
yang tumbuh dalam diri murid karena sifat-sifat guru yang mereka hargai. Wibawa
ini dapat dipupuk. Wibawa tumbuh dengan pengalaman.
Sebagai catatan akhir ingin
saya tambahkan, bahwa banyak-sedikitnya guru dengan kesadaran pembimbing ini
dalam sekolah-sekolah kita akan turut menentukan lambat atau cepatnya bangsa
kita bangun dari segenap keterpurukan yang sedang kita alami sekarang ini.
Kalau jumlah guru dengan kesadaran pembimbing cukup banyak, maka jumlah
generasi muda yang bersedia mengabdikan sebagian dirinya kepada masa depan
bangsa akan cukup banyak pula. Tetapi kalau jumlah guru dengan kesadaran pembimbing
ini sangat sedikit, maka jumlah siswa yang bersedian untuk menyumbangkan tenaga
dan pikirannya juga akan berjumlah sedikit saja. Kebanyakan akan tetap lebih
banyak berpikir bagaimana menjamin masa depan pribadi mereka melalui pekerjaan-pekerjaan yang
aman dan nyaman.
0 komentar:
Posting Komentar