Sejarah munculnya feminisme menjelaskan asal
usul paham ini berasal dan bagaimana dapat lalu merebak dan menjadi anggaran
besar di Negara-negara. Dari asal usulnya telah jelas bahwa paham ini lahir
dari ideologi barat yang kapitalistik, liberal dan sekuler yang menjauhkan
agama dari kehidupan. Artinya, pemahaman dan pemikiran seperti ini bertentangan
dengan Islam yang pada dasarnya telah mengatur segala urusan dan permasalahan
hidup manusia dalam al-qur’an yang memberikan kemaslahatan kepada semua umat
manusia.
Sebagai dien yang sempurna, islam memiliki cara
pandang yang sangat adil dan objektif terhadap persoalan keberadaan laki-laki
dan perempuan dalam masyarakat. Tujuan penciptaan manusia adalah sebagai hamba
Allah yang harus beribadah kepada- Nya dan tujuan penciptaan jenis kelamin
laki-laki dan perempuan adalah untuk melestarikan keturunan dalam kerangka
pandang penghambaan ini.
Islam memandang
posisi laki-laki dan perempuan setara, sekalipun dalam kadar tertentu
diperlakukan berbeda. Manusia sama dilihat dari sisi insaniahnya yaitu,
memiliki akal, naluri, dan kebutuhan jasmani. Tetapi, jenisnya berbeda yang
mengharuskan mereka diberi aturan yang berbeda pula. Ini bukan berarti tidak
adil, karena pada dasarnya ditetapkan oleh Allah sebagai pencipta manusia,
semata-mata demi kemaslahatan, kelestarian, dan kesucian hidup manusia dengan
cara saling melengkapi dan bekerja sama sesuai dengan aturan-aturan-Nya.
Kemualiaan manusia tidak dilihat dari jenis kelamin atau kedudukan seseorang
tetapi dari kadar ketakwaannya.
Ide kesetaraan gender ialah bentuk pengingkaran
terhadap realitas yang ada, sekaligus pengingkaran terhadap kemahaadilan dan
kemahasempurnaan Allah Swt. Sebagai pencipta dan pengatur manusia. Karena perbedaan
jenisnya, kekhusuan yang dimiliki laki-laki dan tidak dimiliki wanita, atau
dimiliki wanita tetapi tidak dimiliki laki-laki. Dalam perkara seperti ini
pasti terdapat perbedaan antara laki-laki dan wanita. Kewajiban mencari nafkah
(bekerja) yang hanya dibebankan kepada laki-laki dan hukumnya wajib bagi
mereka, sementara bagi wanita tidak wajib (mubah), karena hal ini berkaitan
dengan fungsi laki-laki sebagai kepala rumah tangga. Sebagaimana firman Allah
Swt:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum
wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat
kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah
telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Qs.
An-Nisaa:34)
“Para ibu
hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada
para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan
seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila
keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu
disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan
pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah
bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”(Al- Baqarah:233)
“Tempatkanlah
mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan
janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika
mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah
kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan
(anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan
musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu
menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.”
(QS. At-Thalaaq:6)
Tetapi, bukan
berarti perempuan tidak boleh bekerja. Islam membolehkan wanita untuk memiliki
harta sendiri. Bahkan wanitapun boleh berusaha mengembangkan hartanya agar
semakin bertambah. Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah
kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih
banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki- laki ada bahagian
dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian
dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari
karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Qs. An-
Nisaa:32)
Tetapi, sebelum
melakukan yang mubah, maka prioritaskanlah dulu yang wajib menyangkut perannya
sebagai perempuan, ibu ataupun istri. Wanita lebih mengutamakan tugasnya di
rumah tangga, sementara laki-laki mencari nafkah di luar rumah.Dalam urusan
mendidik anak, keduanya memiliki kewajiban yang sama. Firman
Allah Swt:
”Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Qs. At-Tahrim:6
Sementara
itu, di sektor publik atau ditengah-tengah masyarakat, laki-laki dan perempuan memiliki peran yang sama, terutama dalam urusan dakwah dan
amar makruf nahi mungkar.
“Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar;
merekalah orang-orang yang beruntung.” (Qs. Al Imran: 104)
“Kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik
bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan
kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Qs.
Ali Imran:110
“Dan
orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi
penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf,
mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat
pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah;
sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”( Qs. At-Taubah:71)
Tidak menjadi masalah pada saat wanita tidak
ikut memutuskan sesuatu yang menyangkut urusan dirinya, karena
kebutuhan-kebutuhan hidupnya yang memang terpenuhi dengan baik. Kalaupun
kebutuhannya tidak dipenuhi oleh suami atau walinya, ia akan mengingatkan
pemimpinnya itu agar takut kepada Allah karena hak-haknya tidak dipenuhi. Kalau
suami atau walinya tetap abai, ia bisa mengadukan masalah itu kepada pengdilan,
sehingga pengadilan akan memaksa suami atau walinya memenuhi haknya yang telah
diamanatkan Allah kepada mereka.
Pada surat Al
Imran ayat 104 disebutkan menyangkut amar makhruf nahi mungkar, dan sabda
Rasulullah saw. sebagaimana diriwayatkan oleh Hudzaifah r.a: “Siapa saja yang
bangun pagi-pagi tetapi tidak memperhatikan urusan kaum Muslim, ia bukanlah
golongan mereka” (HR Ath-Thabari) Aktivitas politik bukan hanya merupakan
kewajiban laki-laki saja, tetapi juga kewajiban kaum perempuan. Hanya saja ada
beberapa aturan yang harus diperhatikan oleh seorang Muslimah, diantaranya:
1.
harus
disadari bahwa terjunnya di kancah politik semata-mata unutk melaksanakan
perintah Allah Swt.;
2.
memperhatikan
bentuk-bentuk aktivitas yang boleh dilakukan. Yaitu:
a. Hak dan kewajiban baiat. Berdasarkan sabda nabi
saw., sebagaimana dituturkan Ummu Athiyyah r.a:
“Kami telah membaiat Nabi saw. Beliau kemudian
memerintahkan kepada kami untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun dan
melarang kami untuk melakukan niyahah” (HR al-Bukhari).
b. Hak memilih dan dipilih menjadi anggota majelis
umat (yaitu suatu badan di dalam Negara islam yang terdiri dari wakil rakyat
yang bertugas memberi nasihat dan pendapat kepada kepala negara). Berdasarkan
peristiwa Baiat ‘Aqabah II.
c. Kewajiban berdakwah dan amar makruf nahyi
mungkar.
d.
Kewajiban
menasihati dan mengoreksi penguasa.
Dan yang
dilarang adalah:
1.
Duduk
dalam posisi pemerintahan (pengambil keputusan). Didasarkan pada hadis Nabi
saw., sebagaimana dituturkan Abu Bakrah r.a: “Tidak akan pernah beruntung suatu
kaum yang menyerahkan urusan mereka (dalam kekuasaan) kepada para wanita.” (HR
al-Bukhari dan Muslim)
2.
Jika
terjadi benturan kewajiban berpolitik dengan kewajiban lain, islam mengaturnya
dalam fikih prioritas (al-awlawiyat)
Wanita memiliki
3 posisi yaitu sebagai:
1. hamba Allah (menuaikan aktivitas yang sama
dengan laki-laki, seperti dakwah, shaum, amar maruf nahyi mungkar);
2. ibu rumah tangga (melahirkan, meyusui, taat
suami); dan
3. anggota masyarakat (mengetahui
permasalahan-permasalahan sosial atau kemasyarakatan. Keseluruhan hukum-hukum
(aktivitas) yang dicontohkan pada masing-masing posisi di atas, didasarkan pada
sumber- sumber hukum yang terpercaya yaitu Al Qur’an, Al Hadits, Ijma’ sahabat
dan Qiyas.
Aktivitas (perbuatan) manusia secara umum akan
dipengaruhi oleh pemahamannya. Pemahaman ini muncul dari proses berpikir
mengenai kehidupan. Pemahaman yang kokoh dan kuat pastinya memiliki landasan
hukum yang pasti dan tetap; Al Qur’an, AL Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Penanaman
pemahaman yang kuat tidak akan mudah terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran
tentang arus kehidupan saat ini yang rapuh dan tak berdasar alias bebas.
0 komentar:
Posting Komentar