PROSES KEIMANAN
PROSES KEIMANAN
“ Apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana ia diciptakan? Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung, bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi, bagaimana ia dihamparkan?” (QS Al Ghasyiyah: 17-20)
Uqdatul Kubro
Di saat manusia
beranjak dewasa yang ditandai oleh kesempurnaan akalnya, maka semenjak itu ia
mulai berpikir tentang ‘keberadaan’-nya
di dunia ini. Ia mulai berpikir tentang beberapa pertanyaan mendasar yang
sangat perlu, bahkan harus ia jawab.
Jawaban tersebut akan menjadi landasan kehidupan pada masa-masa selanjutnya.
Selama masalah ini belum terjawab, selama itu pula manusia seolah ‘tersesat ‘
tanpa tujuan jelas dan tidak akan berjalan di dunia ini dengan tenang. Karena
sifatnya yang demikian beberapa pertanyaan pokok dan mendasar ini sering
disebut sebagai ’Uqdatul Kubro’
(masalah/simpul yang sangat besar).
Pertanyaan mendasar
tersebut berupa :
-
dari manakah manusia dan kehidupan ini ?
-
untuk apa manusia dan kehidupan ini ada ?
-
akan kemana manusia dan kehidupan setelah ini ?
Bila
pertanyaan ini terjawab maka seseorang akan memiliki landasan kehidupan
sekaligus tuntunan dan tujuan kehidupannya, -- terlepas dari jawabannya benar atau salah. Selanjutnya ia berjalan
di dunia ini dengan ‘landasan’ tersebut, berekonomi dan berbudaya berdasar
‘landasan’ itu, bahkan ia akan mengajak orang dan kaum lain agar mengikuti
‘landasan’ tersebut.
Seseorang
atau suatu kaum yang menyelesaikan ‘uqdatul
kubra’ dengan jawaban ‘kehidupan dunia ini ada dengan sendirinya,
manusia berasal dari tanah/ materi dan kelak akan kembali lagi menjadi
materi/benda, sehingga manusia hidup untuk mencari kebahagiaan materi selama ia
mampu hidup”, maka mereka akan hidup dengan aturan yang dibuatnya sendiri,
dengan standar baik-buruk yang ia kehendaki. Mereka akan berbudaya, berekonomi
dan berpolitik untuk mencapai kebahagiaan material, selama mereka mampu hidup.
Orang dan kaum seperti ini tidak meyakini adanya hal ghaib (ruh, akhirat,
pahala-dosa dsb). Mereka percaya segalanya materi belaka.
Sementara
itu seseorang atau suatu kaum yang menjawab “dibalik alam dan kehidupan ini ada Sang Pencipta, yang mengadakan
seluruh alam, termasuk dirinya, memberi tugas/amanah kehidupan pada manusia dan
kelak ada kehidupan lain setelah dunia ini, yang akan menghisab seluruh
perbuatannya di dunia”, maka mereka akan hidup, berekonomi, berbudaya,
berpolitik dan berinteraksi dengan kaum lain, berdasarkan aturan Penciptanya.
Standar baik-buruk berdasarkan aturan Sang Pencipta, dan sekaligus menjadi
standar amal yang harus ia pertanggungjawabkannya di hadapan Sang Pencipta.
Demikian
gambaran ringkas tentang ‘landasan kehidupan’ seseorang/suatu kaum, yang
sekaligus merupakan jawaban ‘uqdatul
kubro’ manusia. Tetapi bagaimana jawaban yang benar terhadap masalah ini?
Pemecahan Shohih ‘Uqdatul Kubro’
Dengan
berbagai upaya, manusia mencoba mencari jawaban tersebut melalui segala hal
yang dapat dijangkau akalnya. Karena segala hal yang dapat dijangkau akal
manusia, tidak lepas dari (1) alam semesta (al
kaun), (2) manusia (al insan) dan
(3) kehidupan (al hayaah), maka
ketiga hal inilah yang dijadikan obyek/media berpikir untuk mencari jawaban
yang dimaksud.
Pemecahan
yang benar terhadap masalah ini tidak akan terbentuk kecuali dengan pemikiran
yang jernih dan menyeluruh tentang alam semesta, manusia dan kehidupan serta
hubungan ketiganya dengan kehidupan sebelum dan sesudah kehidupan dunia ini.
Islam telah memberi jawaban melalui proses berpikir yang jernih, menyeluruh,
benar, sesuai dengan akal, menentramkan
jiwa dan sesuai dengan fitrah manusia. Proses pencarian keshahihan dari
‘uqdatul qubra’ itu adalah sebagai berikut:
1. Proses keimanan terhadap Al Kholiq (Sang Pencipta)
Islam
menjawab bahwa dibalik alam semesta, manusia dan kehidupan ini ada Al Kholiq (Sang Pencipta), yang mengadakan
semua itu dari tidak ada menjadi ada. Al Kholiq itu bersifat wajibul wujud
(wajib/pasti adanya). Ia pun bukan mahluk karena sifatnya sebagai Sang Pencipta
memastikan bahwa diri-Nya bukanlah makhluk.
Bukti bahwa segala sesuatu itu mengharuskan adanya
Pencipta yang menciptakannya dapat diterangkan sebagai berikut. Bahwasanya
segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh akal terbagi dalam tiga unsur, yaitu
manusia, alam semesta dan kehidupan. Ketiga unsur ini bersifat terbatas dan
bersifat lemah (tidak dapat berbuat sesuatu dengan dirinya sendiri-peny), serba
kurang dan saling membutuhkan kepada yang lain. Misalnya manusia, ia merasa
terbatas sifatnya karena tumbuh dan berkembang tergantung terhadap segala
sesuatu yang lain, sampai suatu batas yang tidak dapat dilampauinya lagi. Oleh
karena itu jelas ia bersifat terbatas, mulai dari ‘ketiadaannya’ sampai batas
waktu yang tidak bisa dilampauinya lagi. Begitu pula halnya dengan kehidupan
(nyawa), ia bersifat terbatas pula, sebab penampakan/perwujudannya bersifat individual
semata. Dan apa yang kita saksikan selalu menunjukkan bahwa kehidupan itu ada
lalu berhenti pada satu individu itu saja. Jadi jelas kehidupan itu ada lalu
berhenti pada satu individu itu saja. Jadi jelas kehidupan itu bersifat
terbatas. Demikian pula halnya dengan alam semesta. Iapun bersifat terbatas.
Himpunan dari benda-benda terbatas dengan sendirinya terbatas pula sifatnya.
Jadi alam semesta itupun bersifat terbatas. Kini jelaslah bahwa manusia,
kehidupan dan alam semesta, ketiganya bersifat terbatas (termasuk memiliki
batas awal dan akhir keberadaannya).
Jika
sesuatu itu bersifat terbatas, akan didapati bahwa segala hal tersebut tidak azali (tidak
berawal dan tidak berakhir).
Sebab apabila ia azali, bagaimana mungkin ia bersifat terbatas? Tidak
boleh tidak, keberadaan semua yang terbatas ini membutuhkan adanya ‘sesuatu yang lain’. Dan ‘sesuatu yang lain’ inilah dinamakan Al Kholiq, yang menciptakan manusia,
kehidupan dan alam semesta.
Dalam menentukan sifal Al Kholiq (Pencipta) ini
tentu saja hanya ada tiga kemungkinan.
a.
Pertama,
Ia diciptakan oleh yang lain. Dengan
pemikiran aqliyah yang jernih dan mendalam, akan dipahami bahwa
kemungkinan ini adalah kemungkinan yang bathil (tidak dapat diterima oleh
akal). Sebab apabila Ia diciptakan oleh yang lain maka Ia adalah makhluk dan
bersifat terbatas, yaitu butuh kepada yang lain untuk mengadakannya.
b.
Kedua,
Ia menciptakan diri-Nya sendiri. Kemungkinan
kedua ini pun bathil juga. Karena
dengan demikian ia akan menjadi makhluk dan Khaliq pada saat yang bersamaan.
Jelas ini tidak dapat diterima oleh akal.
c. Ketiga,
Ia bersifat azali dan wajibul wujud dan mutlak keberadaannya. Setelah dua
kemungkinan di atas dinyatakan bathil, maka hanya tinggal satu kemungkinan lagi
dan hanya kemungkinan yang ketigalah yang shohih, yakni Al Kholiq itu tidak
boleh tidak harus bersifat azali dan wajibul wujud
serta mutlak adanya. Dialah Allah SWT.
Sesungguhnya
bagi setiap orang yang mempunyai akal hanya dengan perantaraan wujud
benda-benda yang dapat diinderanya, ia dapat memahami bahwa dibalik benda-benda
itu terdapat Pencipta yang telah menciptakannya. Dengan memahami bahwa semua
benda-benda tadi bersifat serba kurang, sangat lemah dan saling membutuhkan
kepada yang lain, maka semua hanyalah makhluk. Karenanya untuk membuktikan
adanya Al Khaliq yang Maha Pengatur, sebenarnya cukup hanya dengan mengamati
segala sesuatu yang ada di alam semesta, kehidupan, dan di dalam diri manusia
itu sendiri.
Karena
itu kita jumpai bahwa Al Qur’an senantiasa melontarkan pandangannya kepada benda-benda
yang ada di sekitar manusia sambil mengajak manusia untuk mengamati segala apa
yang ada di sekelilingnya dan apa yang berhubungan dengannya, agar dapat
membuktikan adanya Allah SWT. Sebab dengan mengamati benda-benda akan
memberikan suatu pemahaman yang meyakinkan manusia terhadap adanya Allah yang
Maha Pencipta lagi Maha Pengatur secara pasti tanpa ada keraguan. Di dalam Al
Qur’an telah dibeberkan banyak ayat yang berkenaan dengan hal ini, antara lain
firman Allah :
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit
dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (ayat)
bagi orang yang berakal.” (QS Ali
Imran: 190)
Juga
firman-Nya :
“(Dan) Di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah diciptakannya langit dan bumi serta berlain-lainnya bahasa
dan warna kulitmu.” (QS Ar
Rum: 22)
Serta
firman-Nya yang lain seperti QS Al Ghasiyah: 17-20, juga QS Ath Thariq: 5-7,
atau juga firman-Nya berikut yang artinya :
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit
dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut
membawa apa yang berguna bagi manusia dan apa yang Allah turunkan dari langit
berupa air, lalu dengan air itu Ia hidupkan bumi sesudah matinya (kering) dan
Ia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan dan pengisaran air dan awan yang
dikendalikan antar langit dan bumi. Sesungguhnya pada semua itu terdapat
tanda-tanda (Keesaan dan Kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.”
(QS Al Baqarah: 164)
Masih
banyak lagi ayat sejenis yang mengajak manusia untuk memperhatikan benda-benda
alam, serta melihat apa yang ada disekelilingnya untuk dijadikan petunjuk atas
adanya Sang Pencipta yang Maha Pengatur. Dengan demikian imannya kepada Allah
SWT menjadi mantap, yang berakar dari akal dan bukti.
Inilah jawaban shohih secara ringkas, tentang
keberadaan Al Kholiq dibalik manusia, alam semesta dan kehidupan.
Sifat Fithri Keimanan
Memang
benar, bahwa iman kepada Yang Maha Pengatur ini merupakan suatu hal yang fithri dalam diri setiap manusia. Akan
tetapi iman yang fithri ini hanya muncul dari perasaan hati yang ikhlas belaka.
Dan proses semacam ini tidak bisa dianggap aman akibatnya serta tidak akan
membawa suatu ketetapan/keyakinan apabila ditinggalkan (tanpa dikaitkan dengan
akal). Sebab perasaan hati semacam ini sering menambah-nambah terhadap apa yang
diimani dengan sesuatu yang realistis. Bahkan mengkhayalkannya dengan
sifat-sifat tertentu yang lazim terhadap apa yang ia imani sehingga dapat
menjerumuskan ke arah kekufuran dan kesesatan. Penyembahan berhala dan khurafat
(cerita bohong), tak lain tak bukan akibat salahnya perasaan hati. Maka dari
itu Islam tidak membiarkan perasaan hati
ini sebagai satu-satunya jalan menuju iman.
Islam
menegaskan penggunaan akal bersama-sama dengan perasaan hati dan mewajibkan
atas setiap muslim untuk menggunakan akalnya dalam beriman kepada Allah SWT
serta melarang bertaqlid dalam urusan
aqidah. Untuk ini Islam telah menjadikan akal sebagai timbangan dalam
beriman kepada Allah. Sebagaimana firman Allah SWT :
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit
dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang
yang berakal.” (QS Ali Imran: 190)
Oleh
karena itu maka wajib bagi setiap muslim untuk menjadikan imannya betul-betul
muncul dari proses berfikir, penelitian, memperhatikan serta bertahkim pada
akalnya dalam beriman kepada Allah SWT secara mutlak.
Batas akal dalam memahami Al Khaliq
Kendati
wajib atas manusia untuk menggunakan akalnya dalam beriman kepada Allah SWT,
namun tidak mungkin baginya untuk memahami apa yang ada di luar jangkauan indra dan akalnya. Hal ini karena sifat dan
kekuatan akal manusia terbatas, sehingga pemahamannya pun terbatas.
Oleh
karenanya, akal tidak mampu untuk memahami Dzat Allah dan hakekat-Nya, sebab
Allah berada diluar ketiga unsur pokok alami yang dapat diindera manusia (alam
semesta, manusia dan kehidupan). Hanya saja tidak dapat dikatakan : “Bagaimana mungkin orang dapat beriman
kepada adanya Allah SWT, sedang akalnya sendiri tidak mampu memahami Dzat
Allah?”. Memang tidak bisa dikatakan demikian, sebab pada hakekatnya iman
itu adalah percaya akan adanya
(wujud/keberadaan-Nya) Allah, dimana wujud Allah ini dapat dipahami melalui
keberadaan makhluk-makhluk-Nya, yaitu alam semesta, manusia dan kehidupan.
Ketiganya ini berada dalam batas-batas yang dapat dicapai oleh akal.
Dengan
memahami ketiga hal itu, orang dapat memahami adanya Al Khaliq, yaitu Allah
SWT. Karenanya, iman kepada adanya Allah harus berdasarkan akal dan dalam
jangkauan akal. Lain halnya jika orang hendak memahami Dzat Allah dimana hal
ini mustahil terjadi. Sebab Dzat-Nya diluar jangkauan kemampuan akal. Padahal
akal itu sendiri tidak mungkin memahami hakekat apa yang berada diluar
jangkauannya, disebabkan keterbatasannya untuk melakukan hal itu.
Sesungguhnya
apabila iman kepada Allah SWT muncul dari akal, pemahaman kita terhadap adanya
Al Khaliq pun akan menjadi sempurna pula. Apabila perasaan hati (yang timbul
dari fithrah-peny) yang mengatakan adanya Allah dibarengi pula oleh akal maka
perasaan semacam ini akan tumbuh menjadi suatu keyakinan yang kokoh, yang akan
memberikan suatu pemahaman yang sempurna serta perasaan yang yakin atas semua
sifat-sifat ketuhanan. Dengan sendirinya hal ini akan meyakinkan diri kita
bahwa kita tidak akan sanggup memahami hakekat Dzat Allah, justru karena
kuatnya iman kita kepada-Nya.
2. Proses keimanan terhadap Rasul
Adapun
bukti mengenai hubungan manusia terhadap para rasul dapat kita lihat dari
terbuktinya manusia sebagai mahluk Allah SWT yang bersifat terbatas, akal dan
kemampuannya. Juga dapat dilihat dari terbuktinya agama itu sebagai suatu hal
yang fithri dalam diri manusia, karena ia merupakan salah satu fithrah pen-taqdis-an (pengagungan dan
pensucian-peny) manusia. Dalam fithrahnya itu manusia senantiasa mentaqdiskan
Penciptanya. Pekerjaan mentaqdiskan inilah yang selanjutnya dikenal sebagai ibadah, yang merupakan tali penghubung
antara manusia dan Penciptanya. Apabila hubungan ini dibiarkan sendiri tanpa
aturan akan cenderung terjadi kekacauan ibadah serta menyebabkan terjadinya
penyembahan terhadap selain dari pencipta yang sebenarnya. Jadi harus ada
aturan tertentu yang mengatur hubungan ini dengan baik. Hanya saja aturan ini
tidak boleh datang dari pihak manusia, karena ia sendiri tidak mampu memahami
hakekat Al Khaliq (maksudnya tentang perbuatannya, apakah perbuatan itu
diterima atau ditolak oleh Al Khaliq-peny) untuk dapat meletakkan aturan antara
dirinya dengan Sang Pencipta. Karenanya aturan ini harus datang dari Al Khaliq
serta harus sampai ke tangan manusia. Maka tidak boleh tidak harus
ada para rasul yang menyampaikan agama Allah ini kepada umat manusia.
Bukti
lain akan kebutuhan manusia terhadap para rasul adalah bahwa pemuasan manusia
akan tuntutan kebutuhan-kebutuhan jasmani dan gharizah/nalurinya merupakan hal
yang mutlak diperlukan. Jika pemuasan ini dibiarkan berjalan tanpa aturan akan
menjadi pemuasan yang salah, berlebihan serta menyebabkan malapetaka bagi
manusia. Karena itu harus ada aturan yang mengatur gharizah dan kebutuhan-kebutuhan
jasmani ini. Tetapi aturan ini tidak boleh datang dari pihak manusia, sebab
pemahamannya dalam mengatur gharizah dan kebutuhan jasmani selalu menjadi obyek
(sasaran) kekeliruan, perselisihan dan keterpengaruhan oleh lingkungan yang
didiaminya. Maka dari itu aturan tersebut harus datang dari Allah SWT, yang
untuk dapat sampai ke tangan manusia, haruslah melalui seorang rasul.
3. Proses Keimanan terhadap Al Qur’an Kalamullah
Adapun
bukti –yang sangat mudah – bahwa Al
Qur’an itu datang dari Allah SWT, dapat dilihat dari kenyataan/fakta bahwa Al
Qur'an itu sebuah kitab berbahasa arab yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Karena
fakta tersebut, maka dalam upaya menentukan ‘dari
mana’ asal Al Qur'an itu, dapat kita buktikan dengan tiga kemungkinan dan hanya tiga kemungkinan itu, tidak ada
yang lain. Ketiga kemungkinan tersebut adalah:
a.
Pertama,
ia merupakan karangan bangsa Arab.
Kemungkinan yang pertama ini, yang mengatakan bahwa Al
Qur'an merupakan karangan bangsa Arab adalah suatu kemungkinan yang bathil. Sebab
Al Qur'an sendiri menantang mereka
(bangsa Arab) untuk membuat karya yang serupa. Sebagaimana tertera dalam ayat :
“Katakanlah: ‘Maka
datangkanlah sepuluh surat yang menyamainya.” (QS
Hud: 13)
“Katakanlah: ‘Kalau
benar yang kamu katakan maka coba datangkan sebuah surat yang menyamainya.”
(QS Yunus: 38)
Bangsa Arab telah berusaha untuk menghasilkan karya yang
serupa, akan tetapi mereka tidak juga berhasil. Jadi Al Qur'an bukan berasal
dari perkataan orang Arab, karena ketidakmampuan mereka untuk menghasilkan
karya yang serupa.
b.
Kedua,
ia merupakan karangan Muhammad SAW.
Adapun kemungkinan yang kedua,
yang mengatakan bahwa Al Qur'an itu karangan Muhammad SAW, adalah kemungkinan
yang bathil pula. Sebab Muhammad adalah orang Arab juga. Bagaimanapun
jeniusnya, tetaplah ia sebagai seorang manusia yang menjadi salah satu anggota
dari bangsanya. Selama bangsa Arab tidak mampu menghasilkan karya yang serupa,
maka masuk akal pula apabila Muhammad SAW yang orang Arab itu juga tidak mampu
menghasilkan karya yang serupa. Jelaslah bahwa Al Qur'an, bukan karangannya.
Hal tersebut makin diperkuat dengan banyaknya hadits-hadits
shahih dan mutawatir dari Nabi Muhammad SAW, yang bila setiap hadits ini
dibandingkan dengan ayat manapun dalam Al Qur'an maka tidak akan dijumpai
adanya kemiripan dari segi gaya bahasa
(uslub), padahal keduanya berasal dari orang yang sama. Akan tetapi keduanya
tetap berbeda dari segi gaya bahasanya. Dan bagaimanapun kerasnya seseorang
menciptakan berbagai macam gaya bahasa dalam pembicaraannya, tetap akan
terdapat kemiripan antara gaya bahasa yang satu dengan gaya bahasa yang lain.
Jadi karena tidak ada kemiripan antara gaya bahasa Al Qur'an dengan gaya bahasa
hadits maka yakinlah bahwa Al Qur'an itu bukan perkataan Nabi Muhammad SAW.
Dengan demikian maka terbantahlah kemungkinan pertama dan
kedua. Kini tinggal tuduhan lain yang mereka lontarkan, yaitu bahwa Al Qur'an
itu di sadur oleh Muhammad SAW dari seorang pemuda Nasrani bernama Jabr. Tuduhan itu ditolak keras oleh
Allah SWT melalui firmannya:
“(Dan) Sesungguhnya
Kami mengetahui bahwa mereka berkata, ‘Sesungguhnya Al Qur'an itu diajarkan
oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad). Padahal bahasa orang yang mereka
tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya (adalah) bahasa ‘ajami (non arab),
sedangkan Al Qur'an itu dalam bahasa Arab yang jelas.”
(QS An Nahl: 103)
Inilah pembuktian yang jelas bahwa Al Qur'an itu bukan
karangan bangsa Arab atau karangan Muhammad SAW. Al Qur'an adalah perkataan
Allah (kalam Allah) yang menjadi mukjizat bagi pembawanya (Muhammad SAW). Tidak
ada kemungkinan lain selain ini, dilihat dari kenyataan bahwa Al Qur'an itu
berbahasa Arab.
c.
Ketiga,
ia berasal dari Allah semata, sebagaimana pernyataan pembawanya.
Setelah kedua kemungkinan tersebut terbantahkan, kini hanya
tinggal satu kemungkinan yaitu bahwa Al Qur’an itu adalah kalamullah.
Kemungkinan inilah yang shahih di antara tiga kemungkinan yang ada. Kemungkinan
ini sekaligus membuktikan bahwa Muhammad SAW adalah Rasulullah karena tidak ada
yang membawa syariat dan mukjizat kecuali seorang nabi dan rasul. Sedangkan
yang membawa syariat (Al Qur’an) tersebut tidak lain adalah Muhammad SAW.
Demikian
uraian-uraian singkat namun jelas dan tegas tentang dalil aqli untuk beriman kepada (wujudnya) Allah, kepada kebenaran
kerasulan Muhammad SAW dan kepada Al Qur'an, bahwasanya Al Qur'an merupakan
kalam Allah.
Konsekuensi Iman Kepada Allah, Rasulullah SAW, dan Al Qur’an
Jadi
iman kepada (wujud) Allah itu datang dari akal dan memang harus datang dari
jalan seperti ini. Ini pula yang menjadi dasar kuat untuk beriman terhadap
hal-hal yang ghaib dan segala hal yang dikabarkan oleh Allah SWT. Sebab jika
kita telah beriman kepada Allah SWT, yang memiliki sifat-sifat ketuhanan itu,
maka wajib pula bagi kita untuk beriman
terhadap apa saja yang dikabarkan oleh-Nya. Baik hal itu dapat dicerna oleh
akal maupun tidak, karena semua itu dikabarkan oleh Allah SWT.
Dari
sini kita wajib beriman kepada hari kebangkitan dan pengumpulan (ba’ats),
surga dan neraka, hisab dan siksa, juga beriman akan adanya malaikat, jin dan
syaithan, serta apa saja yang telah diterangkan Al Qur'an dan hadist qath’i.
Iman seperti ini walaupun didapat dengan jalan ‘mengutip’ (naql) dan
mendengar (sama’), akan tetapi pada dasarnya telah terbukti oleh akal. Jadi
aqidah seorang muslim itu harus bersandar kepada akal atau pada sesuatu yang
telah terbukti dasarnya oleh akal. Apa saja yang tidak terbukti oleh kedua
jalan tadi, yaitu akal serta nash Al Qur'an dan hadist qath’i (mutawatir),
haram baginya untuk mengi’tiqadkannya. Sebab aqidah tidak boleh diambil kecuali
dengan kepastian (keyakinan).
Oleh
karena itu kita wajib beriman kepada kehidupan sebelum dunia, yaitu adanya
Allah SWT dan proses penciptaan oleh-Nya; serta beriman kepada kehidupan
setelah dunia yaitu hari akhirat. Perintah-perintah Allah itu merupakan tali
penghubung (shilah) antara kehidupan dunia dengan kehidupan sebelum
dunia, yaitu hubungan penciptaan (shilatul khalq); dan sekaligus menjadi
tali penghubung kehidupan dunia dengan kehidupan sesudah dunia (shilatul
muhasabah). Dan pastilah hal ihwal manusia terikat oleh tali penghubung
ini. Karenanya manusia wajib berjalan dalam kehidupan ini sesuai dengan
peraturan Allah dan wajib beri’tiqad bahwa ia diciptakan oleh Allah, dan akan
dihisab di hari kiamat atas segala perbuatannya di dunia.
Dengan
demikian telah terbentuklah pemikiran yang jernih tentang apa yang ada di balik
kehidupan, alam semesta dan manusia. Telah terbentuk pula pemikiran yang jernih
tentang alam sebelum dan alam sesudah dunia. Dan bahwasanya terdapat ‘tali penghubung’ antara dunia dengan
kedua alam tersebut. Dengan demikian telah terurailah ‘masalah besar’ itu
secara pasti kebenarannya dengan Aqidah
Islamiyah.
Apabila
manusia telah berhasil memecahkan hal tadi ia dapat beralih memikirkan
kehidupan dunia serta mewujudkan mafahim yang benar (terhadap dunia), yang
dihasilkan dari pemikiran dasar tersebut. Pemecahan itu pula yang menjadi dasar
bagi berdirinya suatu prinsip ideologis kehidupan (mabda’) yang membentuk jalan menuju kebangkitan suatu kaum.
Mabda’ itu pula yang akan menjadi dasar bagi tumbuh kembangnya peradaban (hadloroh) suatu kaum. Juga menjadi dasar
bagi peraturan-peraturan hidupnya, dan juga menjadi dasar untuk mendirikan
negaranya. Dengan demikian dasar bagi berdirinya Islam, baik secara fikroh
(ide dasar) maupun thoriqoh (pola operasional/ metode pelaksanaan) adalah Aqidah
Islam itu sendiri. Allah SWT berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman,
tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada Kitab yang diturunkan
Allah kepada Rasul-Nya dan kepada Kitab yang diturunkan sebelumnya. Dan siapa
saja yang mengingkari Allah dan Malaikat-Nya dan Kitab-Kitab-Nya dan
Rasul-Rasul-Nya dan hari akhir maka ia telah sesat sejauh-jauhnya kesesatan.”
(QS An Nisa: 136)
Apabila
semua ini (Iman kepada Allah, dst tadi) telah terbukti kebenarannya, maka wajib
pula beriman kepada Syari’at Islam (sebagaimana terhadap Aqidah Islam). Karena
seluruh syariat ini tercantum dalam Al Qur'an dan telah dibawa oleh Rasulullah
SAW. Apabila tidak beriman maka ia kufur. Seorang yang ingkar terhadap
hukum-hukum syara’ secara keseluruhan atau sebagian, dapat menyebabkan ia
menjadi kufur. Baik hukum-hukum itu berkaitan dengan ibadah, muamalah, uqubat (sanksi), ataupun math’umat (yang berkaitan
dengan makanan). Maka kufur terhadap ayat:
“Dirikanlah shalat…..”
sebenarnya
sama saja kufur terhadap ayat:
“Padahal Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba.” (QS Al Baqarah: 275)
Atau
terhadap ayat :
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan
yang mencuri potonglah tangan keduanya.” (QS Al Maidah: 38)
Atau
ayat :
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai,
darah, daging babi dan (hewan yang disembelih atas nama selain Allah.”
(QS Al Maidah: 3)
Dengan
demikian, iman terhadap syari’at sebenarnya tidak berhenti pada akal semata,
tetapi juga harus ada penyerahan mutlak terhadap segala yang datang dari
sisi-Nya, sebagaimana firman-Nya :
“Maka demi Rabb-mu mereka itu (pada
hakekatnya) tidak beriman sebelum mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai
hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka
tidak merasa di hati mereka suatu keberatan terhadap putusan yang engkau
berikan dan mereka menerima (pasrah) dengan sepenuhnya.”
(QS An Nisa: 65)
Kebangkitan Manusia
Bangkitnya
manusia tergantung dari landasan kehidupan (aqidah)nya, yang merupakan jawaban
atas pertanyaan mendasar tentang kehidupan ini. Karenanya umat harus diarahkan
kepada aqidah yang benar, sehingga memiliki pandangan hidup yang benar dan
mendorongnya berbuat sesuai dengan aturan yang muncul dari aqidah yang benar
tadi. ‘Pemahaman aqidah’ ini selalu ada dalam diri suatu manusia, umat atau
kaum; karenanya, untuk mengubah keadaan suatu kaum agar bangkit, aqidah inilah
yang harus diubah terlebih dahulu. Allah SWT berfirman :
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah
‘keadaan’ suatu kaum sebelum kaum itu sendiri mengubah apa yang ada pada diri
mereka.” (QS Ar Ra’d: 11)
Satu-satunya
jalan perubahan aqidah dengan membentuk pemikiran yang benar dan jernih tentang
aqidah yang shohih yang melandasi kehidupan dan kebangkitannya. Hal ini dapat
dengan menyampaikan (kepada manusia-peny) pemikiran yang benar tentang
pemecahan simpul pada ‘masalah besar’ (Uqdatul
Kubro’) dalam diri manusia. Apabila masalah besar ini telah teruraikan,
maka terurai pula masalah yang lainnya, sebab hanya merupakan bagian atau
cabang dari masalah besar tadi. Oleh karena itu bagi mereka yang menghendaki
kebangkitan dan kehidupan berada diatas jalan yang mulia, harus terlebih dahulu
memecahkan masalah besar ini dengan pemecahan yang benar, yakni dengan aqidah
yang benar.
Islam telah menangani ‘masalah besar’ ini.
Dipecahkannya untuk manusia dengan pemecahan yang sesuai dengan fithrah,
memuaskan akal serta memberikan ketenangan jiwa. Oleh sebab itu Islam dibangun
diatas satu dasar yaitu aqidah, yang mengatakan bahwasanya dibalik alam
semesta, manusia dan kehidupan terdapat Sang Pencipta (Al Khaliq) yang telah
menciptakan ketiganya, dan yang telah menciptakan pula segala sesuatu yang
lainnya. Dialah Allah SWT. Aqidah yang mengatakan bahwasanya Pencipta ini telah
menciptakan segala sesuatu dari tidak ada menjadi ada. Ia bersifat wajibul
wujud (wajib adanya), Ia bukan makhluk, karena sifat-Nya sebagai Pencipta
memastikan bahwa diri-Nya bukan makhluk, serta memastikan pula bahwa ia mutlak
adanya. Segala sesuatu menyandarkan wujudnya kepada diri-Nya, sedangkan Ia
tidak bersandar kepada sesuatu apapun.
0 komentar:
Posting Komentar