Campur Sari

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
cetakKirim ke TemanKirim ke AdminisatorKirim KomentarAmbil kode untuk halaman html
Program Jawami' al Kalim
CD ' DVD
    Program Jawami' al Kalim
    Program Jawami' al Kalim: merupakan ensiklopedi hadits yang mencakup 1400 refrensi buku hadits , 543 diantaranya masih dalam bentuk manuskrip yang belum dicetak dan diteliti juga disertai 70.000 biografi para perawi hadits dengan fasilitas tajhrij dan pencarian yang sangat bagus bagi para pelajar dan peneliti.

14 Mar 2012

Fatwa MUI 2005

UMAT MERINDUKAN ULAMA PEWARIS NABI

Musyawarah Nasional (Munas) Majelis Ulama Indonesia (MUI) ke-VII yang diselenggarakan di Jakarta tanggal 26-29 Juli 2005 telah berakhir. Komisi Fatwa MUI juga telah menetapkan 11 Fatwa tentang berbagai hal, antara lain:

  1.. Haram mempercayai praktik perdukunan dan peramalan, mempublikasikannya dan memanfaatkannya. Meski dimanfaatkan untuk hiburan atau sekadar permainan, tayangan seperti itu merupakan tindakan pembodohan dan bisa membawa masyarakat pada perbuatan syirik.

  2.. Doa bersama tidak dikenal dalam Islam dan merupakan bid'ah. Doa bersama yang dipimpin oleh tokoh non-Muslim haram hukumnya, namun mubah jika dipimpin tokoh Muslim. Doa bersama secara bergiliran adalah haram; juga haram mengamini doa-doa dari agama lain. Haram juga jika dilakukan doa bersama secara serentak, namun mubah jika doa bersama dilakukan menurut agama masing-masing.

  3.. Perkawinan beda agama adalah tidak sah baik jika wanita Muslim menikahi pria non-Muslim ataupun pria Muslim menikahi wanita non-Muslim.

  4.. Islam tidak memberikan hak untuk saling mewarisi antara Muslim dan non-Muslim. Pewarisan di antara keduanya hanya dapat dilakukan dengan cara hibah, wasiat, atau hadiah.

  5.. Maslahat sebagai salah satu dasar dalam penetapan hukum Islam hanyalah sepanjang tidak bertentangan dengan nash al-Quran dan al-Hadits. Yang berhak menentukan maslahat adalah lembaga yang mempunyai kompetensi syariah.

  6.. Liberalisme, sekularisme, dan pluralisme adalah haram, dengan definisi: liberalisme adalah penggunaan pikiran manusia secara bebas, bukan pemikiran yang dilandaskan agama; sekularisme adalah paham yang menganggap agama hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, sementara hubungan manusia dengan manusia tidak bisa diatur agama; pluralisme adalah paham yang menyatakan bahwa semua agama sama dan bahwa agama bersifat relatif dan tidak ada yang boleh mengklaim agamanya adalah yang paling benar.

  7.. Aliran Ahmadiyah dinyatakan berada di luar Islam, dan pengikutnya adalah murtad. Karena itu, para pengikut Ahmadiyah dihimbau agar segera kembali ke jalan Islam yang sesuai dengan al-Quran dan al-Hadits, dan Pemerintah diminta melarang penyebaran aliran dan segala bentuk kegiatannya serta menutup organisasinya.
Selain itu, masih ada empat fatwa lagi, yakni tentang hukuman mati tindak pidana tertentu, Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI), pencabutan hak milik/kepentingan pribadi untuk kepentingan umum, dan wanita menjadi imam shalat, yang karena terbatasnya ruang, tidak kita bahas di kesempatan ini.

Ulama yang Berani Merespon Situasi
Sejenak setelah fatwa itu dibacakan, sejumlah orang yang sering dijuluki "tokoh intelektual Muslim" negeri ini, termasuk juga tokoh-tokoh sekular, berkumpul untuk menggugat fatwa tersebut. Tak kurang, tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla, dalam jumpa pers bersama Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D), berkomentar pedas atas fatwa MUI tersebut. Dia, misalnya, menyatakan, "Argumennya sangat singkat. Fatwa-fatwa MUI itu sangat konyol, tidak masuk akal dan tolol."

Saat ditanya apakah pernyataan itu mengartikan tokoh-tokoh MUI seperti Ketua MUI KH Sahal Mahfud dan Wakil Ketua MUI Prof. Dr. Din Syamsuddin dan ulama lainnya adalah orang yang tolol, Ulil membenarkannya, "Oh iya, tolol," kata Ulil yang sepontan disambut gelak tawa para anggota P2D lainnya. (Lihat: "Ulil: Fatwa MUI Soal Ahmadiyah Konyol dan Tolol," Detik.com/1/8/2005).

Namun, kita bersyukur karena para ulama kita telah berani menyampaikan kebenaran dalam merespon situasi, dan tidak sekadar memberikan legitimasi terhadap apa yang telah terjadi. Menanggapi penolakan sebagian kalangan yang menolak fatwa tersebut, Ketua Komisi Fatwa MUI KH Ma'ruf Amin mengatakan, "Jangankan cuma fatwa, al-Quran saja mereka gugat, kok."

Bahkan Ketua Komisi Dakwah MUI KH Hussein Umar mendorong Pemerintah agar terus mengganyang korupsi, termasuk menyarankan untuk membuka kembali kasus-kasus BLBI yang telah merugikan negara ratusan triliun. Masalah kedua yang harus dihadapi serius adalah budaya pornografi dan pornoaksi. Masalah ketiga adalah perjudian. Kita berharap akan ada sinergi yang baik antara MUI dan Polri yang sekarang sedang bertekad menghabisi perjudian, termasuk menyorot rekening sejumlah petinggi polisi yang diduga diisi uang "panas" ratusan miliar dari perjudian dan kejahatan lainnya.

Ulama Adalah Pewaris Nabi

Secara bahasa, ulama ('ulamâ') merupakan bentuk jamak dari kata 'âlim yang berarti orang yang berilmu. Allah SWT dan Rasul-Nya telah menjelaskan berbagai sifat ulama itu, di antaranya:


Pertama: ulama adalah lambang iman dan harapan umat, yang memberikan petunjuk hanya dengan aturan Islam. Mereka mewarisi karakter Nabi saw. dalam keterikatannya terhadap wahyu Allah. Nabi saw. bersabda:

Sesungguhnya perumpamaan ulama di bumi adalah seperti bintang-bintang di langit yang memberikan petunjuk di dalam kegelapan bumi dan laut. Apabila dia terbenam maka jalan akan kabur. (HR Ahmad).

Dalam hadis lain dinyatakan:

Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para nabi. (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

Seorang ulama sejati tidak akan menyatakan sesuatu yang bertentangan dengan Islam. Seseorang yang benar-benar ulama juga tidak akan menghalalkan sesuatu yang haram dengan alasan semata-mata karena kemaslahatan, seperti supaya investor tidak lari ke luar negeri. Dalam kaidah ushul yang digali dari berbagai nash disebutkan, "Haytsuma kâna asy-syar'u, kânat al-mashlahah (Dimana ada hukum syariat, di situ ada kemaslahatan)", bukan sebaliknya.

Kedua: ulama selalu berjuang di jalan Allah serta selalu memberikan nasihat kepada para penguasa. Sebab, mereka memahami sabda Nabi saw:

Agama adalah nasihat. (HR al-Bukhari dan Muslim).

Mereka juga memahami bahwa nasihat yang paling tinggi kedudukannya adalah yang disampaikan kepada penguasa, yang jika pun dengan itu mereka harus terbunuh, mereka meyakini bahwa kedudukan mereka di akhirat kelak, sebagaimana sabda Nabi saw., adalah sejajar dengan orang-orang yang mati syahid. Karena itu, mereka selalu tabah menghadapi segala tantangan dan halangan demi memperjuangkan Islam dan umatnya, bukan demi membela kepentingan pribadi, pimpinan, atau kelompoknya.

Ketiga: ulama selalu menegakkan kewajiban dan melarang kemungkaran. Mereka tidak menyembunyikan kebenaran dan memutarbalikkan syariat Islam. Mereka sangat memahami firman Allah:

Sesungguhnya mereka yang menyembunyikan keterangan (yang jelas) dan petunjuk yang telah Kami turunkan, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam al-Quran, mereka itu dilaknat oleh Allah dan oleh semua mahluk yang dapat melaknat. (QS al-Baqarah [2]: 159).

Keempat: ulama senanatiasa takut kepada Allah dalam hati, ucapan, dan perbuatannya serta senantiasa berpegang aturan Allah. Allah SWT berfirman:

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama. (QS Fathir [35]: 28).

Jadi, seseorang dikatakan ulama tidaklah dilihat dari wajahnya, pakaiannya, gelarnya, julukannya, ataupun turunannya; bukan pula karena semata-mata ia anggota MUI. Keulamaan seorang ulama tidak lain dilihat dari keilmuan dan karakter yang dimilikinya sebagaimana disebutkan di atas. Boleh jadi seseorang tidak digelari ulama, namun sebenarnya dia ulama. Begitu pula, seseorang yang dijuluki ulama sangat mungkin di sisi Allah bukanlah ulama.

Berkaitan dengan hal ini, Imam al Ghazali (Ihyâ' 'Ulûmiddîn, VII/92) menyatakan:

Dulu di antara tradisi para ulama adalah mengoreksi dan menjaga penguasa untuk menerapkan hukum Allah. Mereka mengikhlaskan niat dan pernyataan mereka membekas di hati. Sebaliknya sekarang, terdapat penguasa yang tamak, namun ulama hanya diam. Andai mereka berbicara, pernyataannya berbeda dengan perbuatannya sehingga tidak mencapai keberhasilan. Kerusakan masyarakat itu adalah akibat kerusakan penguasa dan kerusakan penguasa itu adalah akibat kerusakan ulama. Adapun kerusakan ulama adalah akibat digenggam cinta harta dan jabatan. Siapa saja yang digenggam oleh cinta dunia, niscaya dia tidak mampu menguasai 'kerikilnya'; bagaimana lagi dapat mengingatkan penguasa dan para pembesar.

Jika kondisi sebagian ulama pada zaman al-Ghazali demikian, tidaklah mengherankan jika dewasa ini kondisinya lebih parah, apalagi sejak hancurnya Khilafah Islamiyah tahun 1924.

Rasulullah saw. juga bersabda:
Jihad yang paling utama adalah menyatakan keadilan (menyampaikan kebenaran) di hadapan penguasa jahat. (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

Berkaitan dengan hal di atas, Allah SWT berfirman:
Mengapa orang-orang alim dan para pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan. (QS al-Maidah [5]: 63).

Selain azab Allah, ditinggalkannya amar makruf nahi mungkar juga berakibat tidak diterimanya doa. Hudzhaifah bin Yaman menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
Demi Zat Yang jiwaku ada dalam genggaman-Nya, kalian harus melakukan amar makruf nahi mungkar atau Allah akan menimpakan azab atas kalian, kemudian kalian berdoa kepada-Nya, lalu doa kalian tidak akan dikabulkan. (HR at-Tirmidzi).

Semoga setelah Munas MUI ini kita akan mendapatkan banyaknya ulama pewaris Nabi dengan karakteristik yang diharapkan. Merekalah yang senantiasa menerangi umat karena cinta dan kesetiaan mereka kepada Allah. Sungguh, umat merindukan ulama seperti ini. Dengan itu, umat pun akan balik mencintai, mendukung, dan mendoakan mereka. Amin. []

Komentar al-Islam:
Ulil: Fatwa MUI Soal Ahmadiyah Konyol dan Tolol, Detik.com/1/8/2005.
...Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak tahu. (QS. Al-Baqarah [2]: 13)

UMAT MERINDUKAN
ULAMA PEWARIS NABI
Musyawarah Nasional (Munas) Majelis Ulama Indonesia (MUI) ke-VII yang diselenggarakan di Jakarta tanggal 26-29 Juli 2005 telah berakhir. Komisi Fatwa MUI juga telah menetapkan 11 Fatwa tentang berbagai hal, antara lain:


  1.. Haram mempercayai praktik perdukunan dan peramalan, mempublikasikannya dan memanfaatkannya. Meski dimanfaatkan untuk hiburan atau sekadar permainan, tayangan seperti itu merupakan tindakan pembodohan dan bisa membawa masyarakat pada perbuatan syirik.

  2.. Doa bersama tidak dikenal dalam Islam dan merupakan bid'ah. Doa bersama yang dipimpin oleh tokoh non-Muslim haram hukumnya, namun mubah jika dipimpin tokoh Muslim. Doa bersama secara bergiliran adalah haram; juga haram mengamini doa-doa dari agama lain. Haram juga jika dilakukan doa bersama secara serentak, namun mubah jika doa bersama dilakukan menurut agama masing-masing.


  3.. Perkawinan beda agama adalah tidak sah baik jika wanita Muslim menikahi pria non-Muslim ataupun pria Muslim menikahi wanita non-Muslim.

  4.. Islam tidak memberikan hak untuk saling mewarisi antara Muslim dan non-Muslim. Pewarisan di antara keduanya hanya dapat dilakukan dengan cara hibah, wasiat, atau hadiah.

  5.. Maslahat sebagai salah satu dasar dalam penetapan hukum Islam hanyalah sepanjang tidak bertentangan dengan nash al-Quran dan al-Hadits. Yang berhak menentukan maslahat adalah lembaga yang mempunyai kompetensi syariah.

  6.. Liberalisme, sekularisme, dan pluralisme adalah haram, dengan definisi: liberalisme adalah penggunaan pikiran manusia secara bebas, bukan pemikiran yang dilandaskan agama; sekularisme adalah paham yang menganggap agama hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, sementara hubungan manusia dengan manusia tidak bisa diatur agama; pluralisme adalah paham yang menyatakan bahwa semua agama sama dan bahwa agama bersifat relatif dan tidak ada yang boleh mengklaim agamanya adalah yang paling benar.

  7.. Aliran Ahmadiyah dinyatakan berada di luar Islam, dan pengikutnya adalah murtad. Karena itu, para pengikut Ahmadiyah dihimbau agar segera kembali ke jalan Islam yang sesuai dengan al-Quran dan al-Hadits, dan Pemerintah diminta melarang penyebaran aliran dan segala bentuk kegiatannya serta menutup organisasinya.
Selain itu, masih ada empat fatwa lagi, yakni tentang hukuman mati tindak pidana tertentu, Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI), pencabutan hak milik/kepentingan pribadi untuk kepentingan umum, dan wanita menjadi imam shalat, yang karena terbatasnya ruang, tidak kita bahas di kesempatan ini.

Ulama yang Berani Merespon Situasi
Sejenak setelah fatwa itu dibacakan, sejumlah orang yang sering dijuluki "tokoh intelektual Muslim" negeri ini, termasuk juga tokoh-tokoh sekular, berkumpul untuk menggugat fatwa tersebut. Tak kurang, tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla, dalam jumpa pers bersama Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D), berkomentar pedas atas fatwa MUI tersebut. Dia, misalnya, menyatakan, "Argumennya sangat singkat. Fatwa-fatwa MUI itu sangat konyol, tidak masuk akal dan tolol."

Saat ditanya apakah pernyataan itu mengartikan tokoh-tokoh MUI seperti Ketua MUI KH Sahal Mahfud dan Wakil Ketua MUI Prof. Dr. Din Syamsuddin dan ulama lainnya adalah orang yang tolol, Ulil membenarkannya, "Oh iya, tolol," kata Ulil yang sepontan disambut gelak tawa para anggota P2D lainnya. (Lihat: "Ulil: Fatwa MUI Soal Ahmadiyah Konyol dan Tolol," Detik.com/1/8/2005).


Namun, kita bersyukur karena para ulama kita telah berani menyampaikan kebenaran dalam merespon situasi, dan tidak sekadar memberikan legitimasi terhadap apa yang telah terjadi. Menanggapi penolakan sebagian kalangan yang menolak fatwa tersebut, Ketua Komisi Fatwa MUI KH Ma'ruf Amin mengatakan, "Jangankan cuma fatwa, al-Quran saja mereka gugat, kok."

Bahkan Ketua Komisi Dakwah MUI KH Hussein Umar mendorong Pemerintah agar terus mengganyang korupsi, termasuk menyarankan untuk membuka kembali kasus-kasus BLBI yang telah merugikan negara ratusan triliun. Masalah kedua yang harus dihadapi serius adalah budaya pornografi dan pornoaksi. Masalah ketiga adalah perjudian. Kita berharap akan ada sinergi yang baik antara MUI dan Polri yang sekarang sedang bertekad menghabisi perjudian, termasuk menyorot rekening sejumlah petinggi polisi yang diduga diisi uang "panas" ratusan miliar dari perjudian dan kejahatan lainnya.

Ulama Adalah Pewaris Nabi

Secara bahasa, ulama ('ulamâ') merupakan bentuk jamak dari kata 'âlim yang berarti orang yang berilmu. Allah SWT dan Rasul-Nya telah menjelaskan berbagai sifat ulama itu, di antaranya:

Pertama: ulama adalah lambang iman dan harapan umat, yang memberikan petunjuk hanya dengan aturan Islam. Mereka mewarisi karakter Nabi saw. dalam keterikatannya terhadap wahyu Allah. Nabi saw. bersabda:

Sesungguhnya perumpamaan ulama di bumi adalah seperti bintang-bintang di langit yang memberikan petunjuk di dalam kegelapan bumi dan laut. Apabila dia terbenam maka jalan akan kabur. (HR Ahmad).

Dalam hadis lain dinyatakan:

Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para nabi. (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

Seorang ulama sejati tidak akan menyatakan sesuatu yang bertentangan dengan Islam. Seseorang yang benar-benar ulama juga tidak akan menghalalkan sesuatu yang haram dengan alasan semata-mata karena kemaslahatan, seperti supaya investor tidak lari ke luar negeri. Dalam kaidah ushul yang digali dari berbagai nash disebutkan, "Haytsuma kâna asy-syar'u, kânat al-mashlahah (Dimana ada hukum syariat, di situ ada kemaslahatan)", bukan sebaliknya.


Kedua: ulama selalu berjuang di jalan Allah serta selalu memberikan nasihat kepada para penguasa. Sebab, mereka memahami sabda Nabi saw:

Agama adalah nasihat. (HR al-Bukhari dan Muslim).

Mereka juga memahami bahwa nasihat yang paling tinggi kedudukannya adalah yang disampaikan kepada penguasa, yang jika pun dengan itu mereka harus terbunuh, mereka meyakini bahwa kedudukan mereka di akhirat kelak, sebagaimana sabda Nabi saw., adalah sejajar dengan orang-orang yang mati syahid. Karena itu, mereka selalu tabah menghadapi segala tantangan dan halangan demi memperjuangkan Islam dan umatnya, bukan demi membela kepentingan pribadi, pimpinan, atau kelompoknya.

Ketiga: ulama selalu menegakkan kewajiban dan melarang kemungkaran. Mereka tidak menyembunyikan kebenaran dan memutarbalikkan syariat Islam. Mereka sangat memahami firman Allah:

Sesungguhnya mereka yang menyembunyikan keterangan (yang jelas) dan petunjuk yang telah Kami turunkan, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam al-Quran, mereka itu dilaknat oleh Allah dan oleh semua mahluk yang dapat melaknat. (QS al-Baqarah [2]: 159).

Keempat: ulama senanatiasa takut kepada Allah dalam hati, ucapan, dan perbuatannya serta senantiasa berpegang aturan Allah. Allah SWT berfirman:

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama. (QS Fathir [35]: 28).

Jadi, seseorang dikatakan ulama tidaklah dilihat dari wajahnya, pakaiannya, gelarnya, julukannya, ataupun turunannya; bukan pula karena semata-mata ia anggota MUI. Keulamaan seorang ulama tidak lain dilihat dari keilmuan dan karakter yang dimilikinya sebagaimana disebutkan di atas. Boleh jadi seseorang tidak digelari ulama, namun sebenarnya dia ulama. Begitu pula, seseorang yang dijuluki ulama sangat mungkin di sisi Allah bukanlah ulama.

Berkaitan dengan hal ini, Imam al Ghazali (Ihyâ' 'Ulûmiddîn, VII/92) menyatakan:

Dulu di antara tradisi para ulama adalah mengoreksi dan menjaga penguasa untuk menerapkan hukum Allah. Mereka mengikhlaskan niat dan pernyataan mereka membekas di hati. Sebaliknya sekarang, terdapat penguasa yang tamak, namun ulama hanya diam. Andai mereka berbicara, pernyataannya berbeda dengan perbuatannya sehingga tidak mencapai keberhasilan. Kerusakan masyarakat itu adalah akibat kerusakan penguasa dan kerusakan penguasa itu adalah akibat kerusakan ulama. Adapun kerusakan ulama adalah akibat digenggam cinta harta dan jabatan. Siapa saja yang digenggam oleh cinta dunia, niscaya dia tidak mampu menguasai 'kerikilnya'; bagaimana lagi dapat mengingatkan penguasa dan para pembesar.

Jika kondisi sebagian ulama pada zaman al-Ghazali demikian, tidaklah mengherankan jika dewasa ini kondisinya lebih parah, apalagi sejak hancurnya Khilafah Islamiyah tahun 1924.

Rasulullah saw. juga bersabda:
Jihad yang paling utama adalah menyatakan keadilan (menyampaikan kebenaran) di hadapan penguasa jahat. (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

Berkaitan dengan hal di atas, Allah SWT berfirman:
Mengapa orang-orang alim dan para pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan. (QS al-Maidah [5]: 63).

Selain azab Allah, ditinggalkannya amar makruf nahi mungkar juga berakibat tidak diterimanya doa. Hudzhaifah bin Yaman menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
Demi Zat Yang jiwaku ada dalam genggaman-Nya, kalian harus melakukan amar makruf nahi mungkar atau Allah akan menimpakan azab atas kalian, kemudian kalian berdoa kepada-Nya, lalu doa kalian tidak akan dikabulkan. (HR at-Tirmidzi).

Semoga setelah Munas MUI ini kita akan mendapatkan banyaknya ulama pewaris Nabi dengan karakteristik yang diharapkan. Merekalah yang senantiasa menerangi umat karena cinta dan kesetiaan mereka kepada Allah. Sungguh, umat merindukan ulama seperti ini. Dengan itu, umat pun akan balik mencintai, mendukung, dan mendoakan mereka. Amin. []

Komentar al-Islam:
Ulil: Fatwa MUI Soal Ahmadiyah Konyol dan Tolol, Detik.com/1/8/2005.
...Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak tahu. (QS. Al-Baqarah [2]: 13)

0 komentar:

Posting Komentar

Mohon Tinggalkan Komentar teman-teman tentang blog ini

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Ganti Warna Background

Terima kasih atas kunjungan tamu saya yang istimewa, semoga ada manfaat yang bisa diambil

Followers

REAKSI ANDA TERHADAP BLOG INI

  ©Template by Blogger. Design By Palga