RUU Perguruan Tinggi Melanggar Konstitusi!
Setelah sukses meloloskan agenda liberalisasi di sektor migas, kini
DPR sedang mempersiapkan agenda serupa di bidang pendidikan: Rancangan
Undang-Undang Perguruan Tinggi. Jika tidak ada aral yang melintang, maka
DPR akan mengesahkan RUU PT pada bulan April ini.
RUU PT ini masih terus diperdebatkan. Banyak mahasiswa, dosen, guru
besar, pejabat universitas, dan pemerhati pendidikan yang tidak setuju
dengan RUU ini. Masyarakat luas, termasuk buruh, petani, dan rakyat
miskin—yang juga berkepentingan dengan pendidikan publik yang
inklusif—juga ramai-ramai melakukan penolakan.
Inti penolakan dari penolakan itu adalah kuatnya semangat privatisasi
lembaga pendidikan dalam RUU PT. Di mata banyak pihak, RUU PT hanya
melanjutkan semangat UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang sudah
dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Ada kecenderungan dalam RUU PT, seperti
juga UU BHP sebelumnya, untuk melepaskan tanggung jawab negara dalam
urusan pendidikan dan mengubah lembaga pendidikan sebagai lahan subur
penggalian keuntungan (profit).
Dalam RUU PT ini, ada ketentuan pasal mengenai otonomi perguruan
tinggi: akademik dan non-akademik. Otonomi akademik akan membiarkan
dunia perguruan tinggi berjalan sendiri dan terpisah dengan rakyat dan
kepentingan nasional. Sedangkan otonomi non-akademik, khususnya di
bidang keuangan, akan memaksa perguruan tinggi mencari lahan pembiayaan
sendiri. Paling sering adalah dengan membebankan biaya pendidikan kepada
peserta didik. Hal ini akan membatasi akses masyarakat luas terhadap
hak mendapatkan pendidikan di perguruan tinggi.
Dalam kasus lain, misalnya pengelolaan sarana-prasarana, perguruan
tinggi otonom akan menyewakan fasilitas kampusnya dengan mahal sebagai
jalan mendapatkan pembiayaan. Perguruan tinggi otonom juga dibolehkan
mendirikan badan usaha untuk mendapatkan pendanaan.
Dalam RUU PT ini ada ketentuan pembebanan 1/3 biaya pendidikan kepada
mahasiswa. Padahal, jika menengok konstitusi kita, biaya pendidikan
mestinya ditanggung sepenuhnya oleh negara. Idealnya, jika pemerintah
tunduk kepada konstitusi, biaya pendidikan itu digratiskan. Dengan
begitu, seluruh rakyat Indonesia bisa mengakses perguruan tinggi.
Anehnya, dalam ketentuan RUU PT disebutkan, pemerintah diharuskan
memberikan insentif kepada dunia industri atau anggota masyarakat yang
memberi bantuan kepada dunia pendidikan. Ini kan sangat aneh. Kenapa
insentif pemerintah itu tidak diberikan dalam bentuk anggaran langsung
kepada dunia pendidikan?
Privitasi sangat berbahaya bagi dunia pendidikan. Di beberapa negara
Amerika Latin yang telah menjalankan agenda privatisasi, seperti Chile
dan Kolombia, pendidikan di sana cenderung menghasilkan segmentasi,
pengecualian, diskriminasi, dan selektivitasi. Artinya, tidak semua
golongan masyarakat bisa menikmati pendidikan.
Pendidikan tidak bisa eksklusif dan hanya bisa diakses oleh strata
tertentu dalam masyarakat. Pendidikan harus menjadi inklusif dan dapat
diakses oleh seluruh rakyat tanpa pengecualian. Semangat utama
pendidikan nasional kita sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945
adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Di dalamnya adalah azas kesetaraan
rakyat dalam mendapat pendidikan dan hak rakyat untuk mendapatkan ilmu
yang mencerdaskan dan membebaskan.
Dengan demikian, negara tidak bisa lepas dalam urusan pendidikan,
baik dalam soal pembiayaan maupun penyelenggaraan pendidikan. Anggaran
pendidikan Indonesia masih terbilang terendah di dunia: anggaran
pendidikan kita masih berkisar 3,41% dari PDB. Sedangkan negara-negara
tetangga seperti Malaysia dan Thailand masing-masing 7,9% dan 5,0% dari
PDB-nya. UNESCO sendiri menyerukan anggaran ideal untuk pendidikan
adalah 6% dari PDB.
Tidak hanya itu, RUU PT juga memberi sinyal kuat bagi masuknya
Perguruan Tinggi asing di Indonesia. Kehadiran Perguruan Tinggi asing
tentu akan mengganggu kepentingan nasional kita di bidang pendidikan:
mencerdaskan kehidupan rakyat, melahirkan tenaga terampil dan
berpengetahuan tinggi untuk menopang pembangunan nasional, dan
lain-lain. Untuk diketahui, kehadiran perguruan tinggi di Indonesia
selain untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, juga dalam kerangka
memelihara dan memperkuat keragaman budaya, identitas nasional, dan
kepribadian bangsa kita.
RUU PT ini sangat berlawanan dengan tujuan nasioanal kita untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa dan mencapai masyarakat adil dan makmur.
RUU PT telah melabrak Pancasila dan UUD 1945. Karena itu, kami
menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk berbaris di jalan untuk
menolak pengesahan RUU PT. Selain itu, kita harus menuntut tanggung
jawab negara untuk menyediakan pendidikan inklusif (universal),
mencerdaskan, menghargai bhineka tunggal ika, memperkuat karakter dan
kepribadian nasional, mempromosikan kesetaraan, dan membebaskan.
(Berdikari Online)
0 komentar:
Posting Komentar