ASPEK KEMANUSIAAN DALAM MERAIH HASIL
Aspek kemanusiaan dalam mencapai
hasil suatu usaha ditentukan oleh akal dan kehendak (iradah). Fungsi
akal adalah menetapkan sesuatu berdasarkan pemikiran sesuai dengan
kaidah-kaidah tertentu. Iradah (kehendak) adalah kebulatan tekad
terhadap kelangsungan suatu aktivitas, bagaimanapun berat dan melelahkan,
disertai dengan keteguhan dan konsistensi di dalamnya.
A.
Beberapa Perkara
Rasional untuk Mewujudkan Buah Amal
Beberapa
perkara bersifat rasional yang wajib dipenuhi untuk mewujudkan keberhasilan
dalam usaha antara lain:
1.
Menentukan Target
Artinya,
membatasi target atau buah amal yang diharapkan secara jelas dan rinci. Secara
alami setiap target berbeda-beda tingkat kemudahan dan kesulitannya. Membangun
rumah misalnya, jauh lebih mudah dibandingkan dengan membangun masyarakat.
Setiap target, baik mudah ataupun sulit harus dibatasi terlebih dahulu sebelum
seseorang mulai menjalankan suatu aktivitas, apapun bentuknya. Ketidakjelasan
dan ketidaksempurnaan target atau kesamaran tujuan, meskipun sedikit akan
melahirkan kebingungan dan keraguan dalam jiwa, selain akan menyebabkanputusnya
cita-cita, lemahnya semangat dan motivasi, dan munculnya rasa putus asa, yang
selanjutnya dapat berujung pada kegagalan total dan tidak terwujudnya tujuan.
Penentuan
target yang terfokus, jelas dan tidak mengandung kekeliruan akan melahirkan
tekad yang kuat dalam jiwa, sikap konsisten dan keteguhan, akan dapat
memperkuat cita-cita dan semangat, akan mampu menguatkan motivasi, rasa percaya
diri, dan sikap optimis, serta akan bisa mengantarkan manusia pada keberhasilan
yang sempurna dan tercapainya tujuan.
Demikianlah,
ada perbedaan yang sangat jelas antara orang yang berjalan tanpa tujuan
tertentu dan samar dengan orang yang memiliki tujuan tertentu, jelas dan
terfokus. Perbedaan diantara keduannya seperti orang yang berjalan dalam
kegelapan dengan yang berjalan dalam keadaan terang, seperti orang yang
berjalan dalam keadaan buta dengan orang yang berjalan sambil melihat, atau
seperti orang yang berjalan di padang
pasir tanpa arah/petunjuk dengan orang yang berjalan diatas rel kereta api.
2.
Mengetahui
Sebab-sebab yang Mengantarkan pada Tercapainya Tujuan
Maknanya
adalah mengetahui seluruh sebab-sebab yang bisa mengantarkan pada tercapainya
tujuan, baik yang bersifat kemanusiaan, yang bersifat material (harta), maupun
yang lain.
Sudah
kita kemukakan sebelumnya, bahwa sebab adalah sesuatu yang akan mengantarkan
pada sesuatu yang lain. Jika tujuan berbeda, maka sebab-sebab sebab-sebab yang
bisa mengantarkan pada tercapainya tujuan juga berbeda-beda, sesuai dengan tingkat
kemudahan dan kesulitannya. Demikian jenis, tingkat kesulitan, dan upaya yang
harus dikerahkan untuk memenuhi sebab-sebab tersebut. Misalnya, apa yang
diperlukan untuk menulis selebaran (nasyrah)
berbeda dengan yang diperlukan untuk menulis undang-undang negara. Apa yang
dibutuhkan untuk menyembuhkan sakit mata berbeda dengan yang dibutuhkan untuk
menyembuhkan penyakit kanker. Apa yang dibutuhkan untuk bisa naik ke atap rumah
berbeda dengan yang dibutuhkan untuk mendarat di bulan. Apa yang dibutuhkan untuk
membangun tenda bebeda dengan yang dibutuhkan untuk membangun gedung
pencakarlangit. Apa yang dibutuhkan untuk membangun kepribadian Islam berbeda
dengan yang dibutuhkan untuk membangun masyarakat atau untuk membangun Daulah
Islamiyah. Demikian seterusnya.
Target-target
yang ingin dicapai dalam kehidupan kita sehari-hari itu ada yang mudah serta
bisa dicapai dengan sedikit kesulitan dan kekuatan. Begitu pula sebab-sebab
yang diperlukannya, ada yang dapat dijalani dengan mudah serta gampang
diketahui dan dibatasi.
Sementara
itu, target-target yang lain bisa sangat sulit. Usaha untuk mencapainya pun
membutuhkan kekuatan yang sangat besar dan luar biasa. Manusia, kadang-kadang menghabiskan
usianya, mengerahkan seluruh fasilitas yang dimilikinya, baik akal, badan
maupun harta, tetapi kemudian ajalnya datang sebelum tujuan tercapai. Mereka
pun kadang-kadang membutuhkan kekuatan seluruh generasi yang akan datang satu
demi satu, memerlukan aktivitas yang terus menerus, sulit dan berat, dengan
melibatkan kehendak dan kemauan yang keras. Lebih dari itu, mereka acapkali
malah sangat sulit untuk mengetahui dan membatasi seluruh sebab-sebabnya,
karena bagi orang yang memandang dari kejauhan, target tersebut seakan-akan
sangat jauh dan sulit untuk diraih, bahkan tampak mustahil untuk diwujudkan.
Oleh
karena itu, setelah menentukan dan memfokuskan target tersebut, yang pertama
kali diusahakan oleh orang-orang yang mempunyai tujuan besar dalam kehidupah
ini, seperti para pemimpin dan para pemikir, adalah mengetahui sebab-sebab yang
akan mengantarkannya pada target tersebut secara pasti. Kejeniusan mereka
tampak dalam penguasaan dan pengetahuan yang rinci terhadap seluruh sebab yang
bisa mengantarkan pada target-target tadi, meskipun sangat sulit. Sebab,
meremehkan sesuatu yang sederhana yang bisa menyempurnakan seluruh sebab untuk
meraih tujuan akan mengakibatkan kegagalan total dan menyia-nyiakan seluruh
kekuatan. Dengan demikian agar target itu bisa dicapai secara sempurna kita
harus mengetahui seluruh sebab-sebabnya.
3.
Mengaitkan Sebab
dengan Akibat Secara Benar
Setelah
ada kejelasan dan penentuan target, serta seluruh sebab yang bisa mewujudkannya
pun telah diketahui, maka seorang pemikir atau pemimpin akan berusaha
mengaitkan sebab-sebab tersebut dengan targetnya, atau mengaitkan sebab dengan
akibatnya secara benar. Untuk menjamin suatu keberhasilan tidak cukup hanya
dengan mengaitkan sebab dengan akibatnya saja. Lebih dari itu pengaitan
tersebut harus benar, sehingga target bisa dicapai dalam waktu singkat tanpa
menyia-nyiakan kekuatan yang dikerahkan. Seorang pelajar misalnya, agar
memperoleh nilai yang sempurna pada saat ujian harus mempelajari seluruh materi
pelajaran disertai dengan pemahaman dan pemikiran yang sempurna. Apabila dia
tidak mempelajari seluruh materi pelajaran, berarti dia tidak mengambil dan
menjalani sebab-sebabnya dengan sempurna. Mungkin dia berhasil dalam sebagian
ujian karena hanya menjalani sebagian saja dari sebab-sebab keberhasilan. Jika
dia mempelajarinya tanpa pemahaman dan pemikiran yang sempurna, berarti dia
tidak mengaitakan sebab (yaitu mempelajari materi pelajaran) dengan akibatnya
(yaitu keberhasilan). Pada saat itu target tidak akan terwujud, karena
pengkaitannya tidak benar. Termasuk tindakan yang sia-sia jika seorang pelajar
ingin memperoleh nilai ujian yang sempurna tetapi dia tidak mengaitkan akibat
(yaitu keberhasilan) dengan sebab-sebabnya secara benar, yaitu mempelajari
seluruh materi pelajaran dan memahaminya dengan sempurna.
Contoh
lain adalah peperangan. Dalam peperangan kita tidak cukup mengetahui bahwa
sebab kemenangan adalah mempersiapkan kekuatan dengan hanya mengumpulkan
senjata saja. Lebih dari itu kita juga harus mengetahui strategi perang
mutakhir dengan tingkat yang paling tinggi, juga mengetahui penentuan langkah-langkah
penyerangan militer dan langkah-langkah dalam mempertahankan diri. Disamping
itu kita juga harus mengetahui informasi tentang musuh sekaligus titik-titik
kelemahannya, harus menjaga seluruh benteng pertahanan yang mungkin ditembus
musuh, serta harus mendorong semangat perang para pasukan dan memotivasinya
untuk syahid di jalan Allah. Semua
itu termasuk upaya mengaitkan persiapan (sebab) dengan kemenangan (akibat)
secara benar.
Contoh
lain lagi adalah dalam hal kekuasaan. Sebab keberhasilan dalam mengambil alih
pemerintahan adalah adanya akses menuju kekuasaan. Pengaitan yang benar antara
akses menuju kekuasaan dengan mengambil alih pemerintahan menuntut adanya
pengetahuan tentang seluruh potensi kekuasaan secara rinci dan deskriptif,
serta pengetahuan tentang orang-orang yang memiliki pengaruh secara potensial
satu persatu. Apabila kekuatan secara potensial ada pada satu kabilah misalnya,
maka kita mesti meraih loyalitas kabilah tersebut agar bisa sampai pada
pemerintahan. Meraih loyalitas mereka menuntut keharusan untuk meraih loyalitas
pemimpinya atau para pelaksana kekuasaan pada kabilah tersebut. Apabila
kekuasaan secara potensial ada di kalangan militer, maka kita harus meraih
seluruh struktur yang ada di dalamnya, yang secara potensial dapat mengakses
kekuasaan. Meraih bagian-bagian tersebut tentu saja harus melalui rekrutmen
para pemimpinnya. Kelalaian dalam merekrut seluruh struktur atau ada satu
bagian saja yang disepelekan dalam meraih loyalitas, berarti pengaitan itu
tidak dipandang benar. Satu perkara ini saja cukup untuk bisa menghasilkan
kegagalan total, bahkan kadangkala mengakibatkan bencana yang menghancurkan.
Dengan
demikian, pengaitan yang benar antara sebab dan akibat merupakan keharusan agar
bisa menjamin terwujudnya tujuan.
4.
Memperhatikan
Hukum Alam dan Aturan Kehidupan
Orang
yang berusaha untuk mewujudkan tujuan-tujuannya harus mengaitkan sebab dengan
akibatnya. Tidak boleh hilang dari benaknya kesadaran bahwa usahanya tersebut
harus selalu sesuai dan sejalan dengan hukum alam dan aturan kehidupan.
Artinya, usahanya harus selaras dengan tolok-ukur tolok ukur fisik yang telah
ditentukan oleh Sang Pencipta alam, manusia dan kehidupan. Apabila manusia
keluar dari tolok ukur yang bersifat fisik ini, ia tidak mungkin, bahkan
mustahil bisa mewujudkan tujuan-tujuannya, bagaimanapun pengaitan sebab dan
akibat itu dilakukan, serta bagaimanapun kekuatan-kekuatannya sebagai manusia
yang berakal dikerahkan. Sebagai contoh, sebab kematian adalah datangnya ajal.
Datangnya ajal adalah dari Allah, Zat yang berada dibalik alam ini. Tidak
mungkin manusia bisa menghidupkan orang yang sudah mati, bagaimanpun kerasnya
upaya yang dikerahkannya. Mewujudkan tujuan semacam ini adalah upaya yang
sia-sia. Begitu juga halnya dengan orang yang mencari pertolongan atau
kemenangan di medan
perang, dia wajib mempersiapkan segenap kekuatan, bukan malah membaca kitab
Shahih Bukhari sebagai perlindungan. Sebab, peperangan adalah pertarungan antar
kekuatan fisik, bukan antar kekuatan pemikiran. Orang yang ingin menuntut ilmu
tidak boleh mencari ilmu melalui usaha mencari harta. Orang yang ingin menjadi
seorang faqih tidak boleh mencari ke-faqih-annya
dengan mencari ilmu tentang molekul. Orang yang ingin sembuh dari luka-luka di
perutnya tidak mungkin bisa sembuh hanya dengan membaca surat al-Fatihah saja, tetapi dia harus
menjalani proses pengobatan luka melalui seorang spesialis
.
B.
Kehendak dan
Kemauan untuk Mewujudkan Keberhasilan dalam Beraktivitas
Empat
perkara yang telah dipaparkan sebelumnya adalah perkara-perkara yang bersifat
rasional (‘aqli) dalam upaya
menjalankan aktivitas dan merealisasikan tujuan. Sementara itu yang berhubungan
berhubungan dengan kehendak (iradah)
hanya terbatas pada tiga perkara:
1.
Kehendak yang
Sempurna, Konsisten dan Kontinyu.
Kita
sudah menyebutkan bahwa iradah adalah tekad bulat untuk melakukan suatu
aktivitas. Dalam diri setiap manusia, tekad itu ada yang kuat ada yang lemah.
Bahkan tekad bisa berubah-ubah pada diri seseorang dari waktu ke waktu. Tekad
bulat yang dimiliki para pengemban dakwah dalam aktivitasnya untuk menegakkan
(negara) Khilafah, misalnya berbeda-beda satu sama lain. Tekad bulat seorang
diantara mereka pada saat permulaan mengemban dakwah berbeda dengan setelah
menjalankan dakwah bertahun-tahun. Begitu pula tekad bulat yang dimiliki
seseorang untuk menjalankan suatu aktivitas, kekuatan dan kelemahannya
berbeda-beda, tergantung pada mudah atau sulitnya aktivitas yang akan
dilakukan. Aktivitas yang mudah hanya membutuihkan iradah yang
sederhana, dan aktivitas yang lebih sulit membutuhkan iradah yang lebih
kuat. Sementara aktivitas di luar kebiasaan membutuhkan tekad bulat yang amat
kuat seperti baja, tidak seperti biasanya.Begitulah seterusnya.
Faktor
yang mempengaruhi kekuatan dan kelemahan serta keteguhan dan kontinuitas iradah
pada diri manusia adalah kekuatan yang dimiliki manusia, baik kekuatan materi,
kekuatan maknawi, ataupun kekuatan ruhani. Contohnya adalah kekuatan ruhani
yang dimiliki oleh mujahid fi sabilillah ketika dia meyakini bahwa
tempat kembalinya adalah surga yang sederajat dengan surga tempat shiddiqin dan para syuhada. Sebaliknya, dia takut akan memperoleh kekekalan dalam
neraka jahanam seandainya lari dari medan
perang. Semua itu akan menjadikan iradahnya lebih kuat dari pada baja dan lebih tangguh dari pada gunung
yang tinggi.
Faktor
yang menghasilkan kekuatan yang dapat mempengaruhi iradah pada diri
manusia adalah pemahamannya tentang kehidupan. Seorang kapitalis-sekular
misalnya, ketika melihat ada kesempatan untuk memperoleh keuntungan materi,
kekuatan maknawinya akan bertambah sehingga dia akan berusaha dengan dorongan
motivasi dan iradah yang kuat. Seorang
sosialis, pada saat menyadari tentang aturan materi dan alam, maka dia akan
terdorong dengan iradahnya yang
kuat untuk melakukan perubahan masyarakat. Demikian pula dengan seorang muslim
yang meyakini bahwa ajal dan rizki,ada di tangan Allah, yangsenantiasa
bertawakal kepada-Nya dengan sebenar-benarnya, dan yang memahami dengan jelas
persoalan tentang qadla dan
qadar. Dengan semua itu, dia akanmenghasilkan pada dirinya iradah
yang kuat bagaikan besi-baja untuk mewujudkan perkara-perkara yang besar.
Berdasarkan
penjelasan ini, kita akan menemukan perbedaan besar antara iradah yang
dimiliki oleh seorang muslim pengemban dakwah dengan iradah yang
dimiliki oleh penganut ideologi kapitalis dan sosialis ataupun dengan manusia
yang tidak berideologi. Hal ini dapat dilihat dengan memperhatikan perbedaan
kekuatan –baik kekuatan ruhiah, maknawi, maupun materi- yang mempengaruhi diri
mereka masing-masing. Adanya perbedaan tersebut juga dapat dilihat dengan
memperhatikan perbedaan pemahaman yang bisa mendorong dan memperkuat iradah mereka. Dari sini tampak bahwa iradah (tekad bulat untuk melakukan
suatu aktivitas) berikut konsistensi, kontinuitas, dan keserasiannya dengan
jenis aktivitas yang kuat maupun yang lemah harus ada untuk menjalankan suatu
aktivitas dan meraih tujuannya.
2.
Adanya Perasaan
Butuh terhadap Suatu Aktivitas
Kita
bisa memperhatikan bagaimana pentingnya peranan perasaan dalam menjalankan
suatu aktivitas dalam kehidupan ini. Kita bisa memperhatikan bahwa orang yang
tidak merasakan adanya kedzaliman, misalnya, tidak akan memiliki iradah untuk mengubah kedzaliman itu.
Seorang muslim yang tidak merasakan adanya hukum kufur dan dan kedzaliman yang
diakibatkannya, serta tidak menyadari segala tipu daya dan konspirasinya, juga
tidak akan memiliki iradah untuk mengubah keadaan tersebut dengan
melakukan aktivitas untuk mewujudkan (negara) Khilafah. Kita pun bisa
memperhatikan bahwa manusia yang pernah merasakan pahitnya kegagalan, akan
memiliki iradah yang berbeda dengan orang yang tidak pernah mencoba
melakukan suatu aktivitas. Dengan demikian, iradah lahir dari perasaan.
Artinya, tanpa adanya perasaan tidak akan lahir iradah. Rasa lapar akan
melahirkan iradah untuk mendapatkan benda-benda yang bisa menghilangkan
rasa lapar. Perasaan terhadap dzalimnya kekufuran juga akan melahirkan iradah
untuk membebaskan diri dari kedzaliman tersebut. Hanya saja, untuk menjamin
kebenaran hasil sari suatu aktivitas dan terwujudnya tujuan yang dicari, maka
perasaan harus disertai dengan pemikiran. Dalam hal ini pemikiran akan
memperkuat perasaan yang ada dalam jiwa sehingga menjadi perasaan yang peka.
Pemikiran inilah yang akan mengontrol dan menjadikan perasaan itu memeiliki pengaruh.
Apabila manusia menjalankan suatu aktivitas yang dipicu oleh perasaan semata,
tanpa disertai pemikiran, maka tidak mungkin sampai pada hasil yang dituju.
Lebih dari itu perilaku seperti ini dapat menurunkan derajat manusia ke tingkat
hewani karena meninggalkan dan mengabaikan kekuatan akal pikiran. Walhasil,
perasaan akan melahirkan iradah, dan
pemikiran dapat menjadikan perasaan itu menjadi perasaan yang benar dan
berpengaruh.
3.
Adanya
Keseimbangan antara Dorongan dan Cita-cita pada Diri Manusia dengan Kemampuan
dan Fasilitas yang Dimilikinya.
Secara
alami, manusia memiliki dorongan dan hasrat. Ia juga memiliki kemampuan dan
fasilitas untuk dapat mengantarkan dirinya pada keinginan dan cita-citanya.
Agar kaidah untuk mewujudkan tujuan itu tetap benar, maka kemampuan-kemampuan
yang dimiliki oleh manusia tidak boleh melebihi dorongan dan cita-citanya, meskipun
hanya sedikit. Keseimbangan antara keduanya harus selalu dijaga. Cita-cita yang
besar dengan kemampuan yang terbatas dapat melahirkan keputusasaan. Sebaliknya,
cita-cita yang rendah dengan kemampuan yang besar untuk merealisasikan
kadang-kadang dapat melahirkan kecerobohan. Agar tidak terjadi keputusasaan dan
kecerobohan, harus ada keseimbangan antara dorongan dan cita-cita disatu sisi,
dengan kemampuan dan fasilitas disisi lain. Orang yang memiliki keinginan untuk
menjadi imam di masjid tidak membutuhkan kemampuan lebih selain dari menghafal
surat al-Fatihah. Akan tetapi orang yang memiliki cita-cita dan keinginan
menjadi imam kaum Muslim diseluruh dunia harus memiliki kemampuan dan
sarana-sarana pendukung yang sesuai dengan cita-citanya itu, minimal dia harus
orang yang faqih dan ahli dalam politik. Termasuk kecerobohan apabila
seorang pengemban dakwah ingin menjadi pemimpin politik tanpa memiliki kesadaran
terhadap peristiwa-peristiwa politik, atau tidak memantau dan memahami berbagai
fenomena politik.
Dengan
demikian, keseimbangan antara kemampuan dengan dorongan dan cita-cita serta
upaya merealisaikan keseimbangan tersebut merupakan sesuatu yang sangat
dibutuhkan untuk mewujudkan tujuan yang diinginkan.
0 komentar:
Posting Komentar